A. Pokok Pikiran Positivisme
Dua
revolusi politik besar terjadi pada akhir abad XVIII yaitu revolusi di
Amerika tahun 1776 dan di Perancis tahun 1789. Di samping revolusi
politik tersebut, manusia mengalami revolusi yang tidak kalah penting
juga di awal abad XIX yaitu revolusi sosial ekonomis terutama
perkembangan industrialisasi. Aliran filsafat yang cukup kuat dalam
abad ini dianut oleh orang-orang yang berpegang teguh pada ilmu
pengetahuan yaitu positivisme. Positivisme berpangkal pada pandangan Immanuel Kant
bahwa manusia tidak mampu untuk mengetahui realitas material selain
melalui ilmu pengetahuan. Munculnya negara modern sebagai tempat
penyimpanan yang kian lama kian khusus dari kekuasaan politik dan ,
tidak hanya menimbulkan kelas professional, dari pegawai-pegawai sipil,
para cendekiawan dan lain-lain, yang secara bertahap lebih menuntut
pengorganisasian sistem , susunan structural kekuasasaan yang
demokratis dan disusunnya bahan secara kodifikasi dalam suatu sistem yang teratur.
Positivisme
lahir dari konflik antara pemikir yang mengkonstruksikan dunia dari
berbagai konsep dan ide a priori dan pemikir yang menitikberatkan pada
materi atas ide. Dua kelompok pemikir itu dikenal sebagai idealis dan
materialis atau metafisis versus positivis dan ontologis versus empiris.
Jika ditelusuri ke filsafat Yunani Kuno, kaum idealis mengikuti jejak Plato (427-347.seb.Masehi) dan kelompok materialis melanjutkan warisan pemikiran Aristoteles (384-322.seb.Masehi).
Positivisme
dalam berbagai kajian mempunyai banyak variasi dalam hal penempatan
tokoh / pelopor suatu aliran dalam pembabakan atau periodisasi sejarah
dan hal ini tergantung sepenuhnya pada alasan atau latar belakang
penulis mencantumkannya.
Menurut Theo Huijbers, dalam positivisme terdapat tiga cabang yaitu :
(1) positivisme sosiologis memandang sebagai gejala sosial melulu, sehingga hanya dapat diselidiki melalui suatu ilmu pengetahuan baru yang muncul dalam abad itu, yaitu sosiologi dengan dipelopori oleh Saint Simon (1760-1825), Auguste Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903).
(2) positivisme yuridis hendak mempersoalkan arti sebagai gejala tersendiri, menurut metode ilmu positif dengan pelopornya Rudolf von Jhering (1818-1892) dan aliran lain yang dekat dengan positivisme yuridis yaitu :
(3) ajaran umum dengan pelopornya Adolf Merkl (1836-1896), Karl Bergbohm (1849-1927), Ernst Bierling (1841-1919), dan John Austin (1790-1859). Sedangkan Hans Kelsen (1818-1973) digolongkan pada penganut madzhab neokantianisme dan H.L.A.Hart (lahir 1907) digolongkan pada neopositivisme.
Dalam beberapa wacana sejarah filsafat maupun teori secara umum, positivisme dikenal akan dua sub aliran yaitu : aliran positif yang analitis (analytical positivism), pendasarnya adalah John Austin dan aliran positif yang murni (reine rechtslehre), dipelopori oleh Hans Kelsen.
Aliran positif yang analitis mengartikan itu sebagai a command of the lawgiver, suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat “closed logical system”. Disebutkan pula oleh Austin, “A
law is a command which obliges a person or person….Laws and other
command are said to proceed from superiors, and to bind or oblige
inferiors”. Hubungan antara dengan moral secara tegas
harus dipisahkan, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan dan
tidak didasarkan pada pertimbangan atau penilaian baik-buruk.
John Austin yang terkenal dengan sebutan ajarannya The Imperative School, membagi atas : Law set by God to men atau Law of God dan Law set by men to men atau Human Laws yang terdiri (1) dalam arti yang sebenarnya ( positif) yang disebut pula laws properly so called (possitive law) memiliki 4 unsur yaitu : command,
sanction, duty, sovereignty [ if a determinate human superior not in a
habit of obidience to a like superior, receive habitual obedience from
the bulk of a given society, and the society (including the superior)
is a society political and independent ]. Ketentuan yang tidak mengandung empat hal ini bukan positif hanya moralitas positif (possitive morality) (2) yang tidak sebenarnya disebut pula laws improperly so called ( yang tidak memenuhi persyaratan sebagai karena tidak ditetapkan atau dibuat oleh penguasa). didefinisikannya sebagai a rule laid down for the guidance of intelligent being by an intelligent being having power over him. Austin menyatakan bahwa sumber satu-satunya adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara, sedangkan sumber lainnya adalah rendah.
Ilmu diartikan sebagai teori positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya (self sufficiency) dan tugasnya adalah menganalisis unsur-unsur yang nyata ada dari sistem modern. merupakan perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Teori Austin ini dapat disejajarkan dengan teori kekuasaan dari Thomas Hobbes (1588-1679).
Negara dipandangnya sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh
orang-orang dalam wilayah tertentu. Negara-negara timbul dan
dipertahankan disebabkan oleh kebanyakan bawahan mempunyai kebiasaan
mentaati perintah. Bila kebiasaan itu berhenti maka sudah tidak
terdapat negara lagi. Terdapat bermacam-macam alasan untuk mentaati
pemerintah. Ada
orang yang mentaati oleh sebab mereka berpegang teguh pada prasangka
bahwa pemerintah selalu harus ditaati. Orang lain lagi menjadi taat,
oleh karena mereka takut akan kekacauan, bila negara dirombak. Semuanya
ini dipastikan dalam pengalaman. Nilainya tidak dipersoalkan. Dapat
dipastikan juga bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber . Di
atas yang berkuasa tidak ditemukan. Hal ini diungkap Austin
sebagai berikut : tiap-tiap undang-undang positif ditentukan secara
langsung atau tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang
yang berwibawa bagi seorang atau sekelompok orang yang berwibawa bagi
seorang anggota atau anggota-anggota dari suatu masyarakat politik yang
berdaulat, dalam mana pembentuk adalah yang tertinggi.
Dalam ajaran positif
analitis ini terdapat hal-hal pokok yang menjadi perhatian yaitu :
ajarannya tidak berkaitan dengan penilaian baik-buruk, sebab penilaian
ini berada di luar bidang , kaidah moral secara yuridis tidak penting
bagi walau ada pengaruhnya bagi masyarakat, pandangannya bertentangan baik dengan alam maupun madzhab historis, hakekat semata-mata adalah perintah (semua positif
merupakan perintah dari penguasa yang berdaulat), masalah kedaulatan
tak perlu dipersoalkan sebab berada dalam ruang lingkup dunia
politik/sosiologi (hendaknya dianggap sebagai suatu yang telah ada
dalam kenyataan), kurang atau tidak memberikan tempat bagi yang hidup dalam masyarakat.
H.L.Hart menyebutkan 5 arti dari positivisme yaitu :
(1) the contention that laws are commands of human beings; (2) the contention that there is no necessary connection between law and morals or law as it is and ought to be: (3)
the contention that analsis (or study of meaning) of legal concepts is
(a) worth pursing and (b) to be distinguished from historical inquires
in to the causes or origins of laws, from sociological inquires in to
the relation of law and other social phenomena, and from the criticism
or appraisal of law whether in-situ terms of morals, social aims,
“functions” or otherwise; (4) the contention that a legal system is a “closed logical system” in which correct legal decisions can be decuded by logical means from predetermined legal rules without reference to social aims, policies, moral standards; (5)
the contention that moral judgments cannot be established or defended,
as statements of fact can, by rational argument, evidence, or proof (“non-cognitivisme” in eticts)
Pada prinsipnya pemisahan antara yang ada dan yang seharusnya ada, adalah asumsi filosofis yang paling fundamental dari positivisme . Sistem dialektika G.W.F.Hegel (1770-1831) yang
mengadakan pemisahan “yang ada” dari “yang seharusnya ada” sama sekali
tidak meremehkan pentingnya nilai-nilai dalam . Dengan menyisihkan
nilai-nilai yang mendasari sistem , positivisme analitis dapat
mencurahkan perhatiannya pada susunan sistem yang positif.
Menurut Hart, kaidah-kaidah dapat dibagi atas : (1) “Primary rules of obligation”
yaitu kaidah primer yang menentukan kelakuan subjek-subjek , dengan
menyatakan apa yang harus dilakukan, apa yang dilarang. (2) “Secondary rules of obligation”
yaitu kaidah sekunder yang memastikan syarat-syarat bagi berlakunya
kaidah primer sehingga menampakkan sifat yuridis kaidah itu. Oleh sebab
itu dikenal : rules of recognition, rules of change dan rules
of adjudication Rudolf von Jhering (1818-1892) merupakan tokoh
pelanjut Austin yang menitikberatkan pada segi rasional utilitaristis
. dimaksudkannya sebagai alat untuk mencapai tujuan sehingga
keberadaan tergantung dari paksaan, dan hak memaksa adalah monopoli
mutlak negara. Teorinya menggabungkan teori Jeremy Bentham (1748-1832),
John Stuart Mill (1806-1903) dan John Austin (1790-1861). Karya von
Jhering berkisar pada pengolahan yang disebutnya tehnik yaitu metode
yang digunakan oleh ahli-ahli untuk menguasai positif secara
rasional, dengan tujuan supaya itu dapat diterapkan secara tepat pada
perkara-perkara yang konkret. Rasionalisasi berlangsung dalam dua
tahap. Tahap pertama disebut niedere jurisprudence yaitu tehnik dengan
penyederhanaan dari kuantitas yang berarti pengurangan jumlah kaidah
dengan analisis yuridis, konsentrasi logis, sistematik yuridis,
penentuan terminologi dan ekonomi yuridis. Tahap kedua :
begriffsjurisprudence yaitu teknik penyederhanaan bahan dari segi
kualitas yang berarti peningkatan menjadi ide-ide dan
institusi-institusi. Kedua tahap ini menurut von Jhering tidak
mencukupi dan sampailah pada kesimpulan bukan ide rasional yang
menentukan dalam hal melainkan kepentingan masyarakat
(interessen-jurisprudence). Dalam mendefinisikan “kepentingan” ia
mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan
dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan individu dijadikan
bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang
dengan kepentingan-kepentingan orang lain. Pengaruh von Jhering ini
tampak pada Gerog Jellinek, Zom, Paul Laband dan lain-lain. Gerog
Jellinek gives the following three essential marks of rule of law : (1)
they are norms for the external conduct of men towards one another (2)
they are norms which proceed from a known external authority (3) they
are norms whose binding force is guaranteed by external power. Konsepsi imperatif yang murni ini oleh Jellinek secara falsafah dengan menambahkan pada tiga syarat ini yaitu ketepatgunaan peraturan untuk berbuat.
Pemikiran positivisme analitis dapat ditelaah pula dari Roguin yang membela murni dengan dibatasi oleh penafsiran-penafsiran yang sah, dan mengeluarkan semua penafsiran dan penerapan di luar bidang ilmu , atau Jeze yang menegaskan lagi perbedaan mutlak anatara dan politik dan membatasi hanya pada fungsi teknis. Bagi Jeze, “rasa keadilan” bukan mata rantai dalam perkembangan kreatif dari , melainkan tindakan revolusi politis terhadap ( as an act political revolution against the law ).
Aliran positif yang murni Hans Kelsen tersebut sesungguhnya merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu yang ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter. Asal usul pemikiran filosofis Hans Kelsen didasari pemikiran Neokantianisme, sedangkan Austin merujuk pada Utilitarianisme. Aliran ini mendapat pengaruh kuat dari aliran pemikiran pendahulunya, yaitu Legisme. Aliran ini berkembang sejak abad pertengahan, yaitu penyamaan dengan undang-undang sebagai pokok pikirannya. Di luar itu dianggap tidak ada .
Prinsip dasar pada aliran ini adalah harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, yaitu anasir etis, sosiologis, politis dan sejarah. Reine Rechtslehre berusaha mencari pengetahuan tentang secara ilmiah yang tidak dicampuri oleh instink, kemauan, keinginan dan sebagainya. harus dibebaskan dari unsur moral sebagaimana diajarkan oleh aliran alam (unsur etika), juga dari persepsi kebiasaan (sosiologis), dan konsepsi keadilan (unsur politis). adalah sebagaimana adanya yaitu dalam berbagai peraturan yang ada. Tidak mempersoalkan “bagaimana itu seharusnya” (what the law ought to be) tetapi “apa nya” (what the law is). Dikatakan pula ilmu itu normatif, berada di dunia das sollen dan bukan das sein. Dengan kata lain adalah suatu sollenkategorie bukan seinkategorie, yang dipakai adalah ius constitutum, bukan ius constituendum. Sifatnya hipotesis, lahir karena kemauan dan akal manusia. Kelsen menyatakan bahwa berurusan dengan forma bukan materia. Keadilan sebagai isi berada di luar . dapat saja tidak adil tetapi ia tetaplah karena dikeluarkan oleh penguasa. itu tidak pernah berupa pelanggaran , tetapi hanyalah ilmu pengetahuan. Reine Rechtslehre dari Kelsen berusaha untuk mencari ketentuan-ketentuan yang secara teoritis (sebagai objek tunggalnya) dapat diketahui tentang , dari macam apa saja, dari waktu apa saja, dan keadaan apa saja.
Sistem pemikiran Kelsen secara umum dapat dilacak pada pokok pikiran sebagai berikut :
(1) The aim of theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicity to unity.
(2) Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is, not of what the law ought to be.
(3) The law is normative not a natural science.
(4) Legal theory as a theory of norms is not concerned with the effectivenes of legal norms.
(5) A theory of law is formal, a theory of the way of ordering, changing contents in a specific way.
(6) The relation of legal theory to a particular system of possitive law is that of possible to actual law.
Di
sisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa positif itu pada kenyataannya
dapat saja menjadi tidak efektif lagi. Ini terjadi karena kepentingan
masyarakat yang diatur sudah tidak
ada, dan biasanya dalam keadaan yang demikian, penguasa pun tidak akan memaksakan penerapannya. Ajaran Hans Kelsen tentang Teori Jenjang atau Stufenbau des Recht (yang semula dikemukakan oleh Adolf Merkl) menyebutkan bahwa sistem merupakan suatu hirarki dari . This theory of the “concretisation” of law (Stufentheorie)
sees the legal system as a pyramidal structure. The law unfolds in a
gradual process from the highest norm, which is also the abstract,
general and purely norm-giving, to the lowest, which is completely
individualised, concrete and executive. Terdapat grundnorm atau ursprungnorm yang berfungsi sebagai sumber keharusan dalam bidang . Norma dasar itu dapat dirumuskan dalam bentuk suatu kaidah yang dianggap sebagai yang tertinggi dalam bidang . Kaidah itu berbunyi : “orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang ditentukan”. Tugas teori adalah
untuk menjelaskan hubungan-hubungan antara norma-norma dasar dan semua
norma di bawahnya, tetapi tidak untuk mengatakan apakah norma dasar
sendiri baik atau buruk. Hal tersebut merupakan tugas ilmu politik,
atau etika, atau agama. Teori Jenjang atau teori tentang “konkretisasi” Kelsen ini dikembangkan Hans Nawiasky yang mengkhususkan pembahasannya pada norma saja. diidentikkannya dengan perundang-undangan (peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa).
Menurut Kelsen tidak ada suatu grundorm dapat diakui yang tidak memiliki “minimum of effectiveness”, yaitu yang tidak mempunyai kekuasaan terhadap jumlah penduduk tertentu yang taat kepadanya. (“No
fundamental norm can be recognized which has not a minimum of
effectiveness, that is which not command a certain amount of obedience.
The efficacy or the total legal order is a necessary condition for the
validity of every single norm of the order” How this minimum of
effectiveness is to be measured Kelsen does not say, nor could he do so without going deep into questions of political and sociological reality).
Dalam berbagai wacana, Satjipto Rahardjo mengutarakan bahwa ciri rechtsdogmatiek/analytical positivism secara berurutan adalah : Practical Science, Terbatas pada positif, Peraturan (Rule), Logika, Struktur logis dari , Formal-Prosedural (membiasakan melihat yang formal /dikembalikan pada positif), Pasaran Kerja (profesionalisme ) yaitu kemampuan atau ketrampilan, mengetahui dan menerapkan tertulis.
B. Kontemplasi dan Analisis Kritis terhadap Teori Positif dalam Realitas Sosial.
Abad ke sembilan belas merupakan kurun waktu yang memegang lekat individu (possessive individu) sebagai pengaturan . Keahlian pada masa ini dihubungkan dengan ketrampilan teknis (legal craftsmanship). Pengkajian tidak memerlukan ancangan atau pendekatan lain kecuali pendekatan normatif atau dogmatis sebagai metode yang paling memadai. Pendekatan ini mengakibatkan telah tercukupi dengan kebutuhannya sendiri (self-sufficent) dengan terkodifikasi sehingga menjadi bidang yang esoterik artinya yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang dipersiapkan untuk itu. Kondisi semacam ini menuntut bidang penuh
akan hal-hal yang berbau teknis, penggunaan istilah-istilah yang khas,
bersifat prosedural, pengambilan keputusan dan sebagainya. Positivisme
telah membawa dunia untuk diperlakukan secara otonom dan
terlepas kaitannya dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat sehingga
resiko yang timbul adalah terjadinya “pengucilan ” terhadap proses kemasyarakatan.
Aliran
positivisme atau formalisme ini juga dinamakan ilmu analitis, dilihat
dari cara bekerjanya. Sesudah orang berhasil untuk melokalisasi
objeknya, maka perhatiannya sekarang dipusatkan kepada
peraturan-peraturan yang merupakan unsur pokok dari positif tersebut.
Ilmu analitis mengkaji pertautan logis, baik antara peraturan-peraturan
yang satu
dengan yang lain, maupun antara bagian-bagian dari sistem serta
mengusahakan terciptanya pemakaian definisi-definisi dan
pengertian-pengertian secara pasti dan meningkatkan pertautan seperti
tersebut di atas.7 Berkaitan dengan positivisme ini maka Kelsen mengemukakan metode dasar dari ilmu hanya berurusan dengan positif
atau peraturan-peraturan ( bekerja dengan sendirinya) dan dibebaskan
dari ilmu-ilmu yang tidak membahas peraturan (metayuridis) seperti
psikologi, sosiologi dan etika.
Positivisme sangat mempercayai tertulis dan tidak perlu input bidang lain. ada
dalam dogma, asas-asas, norma, peraturan-peraturan. Semua sudah
tercukupi oleh , oleh karena bidang ini seperti ekonomi, politik maupun
sosial sudah diatur oleh . Apa yang sudah diatur oleh ada pada . Pada saat para pengkaji merasa cukup puas dengan kemampuan untuk “menguasai” masyarakat, pada waktu itu mereka menerima sebagai sesuatu yang praktis. Pikiran orang hanya ditujukan kepada pemahaman dan penguasaan positif, bagaimana menafsirkannya, dan bagaimana pula menerapkannya. Kehadiran itu tidak pernah dipersoalkan, ia diterima sebagai suatu yang seharusnya dijalankan, sesuatu yang tinggal diterapkan saja. Law
is practical science. It does not ordinary dwell on fundamental
questions about the social, political, an economic functions of legal
order.
Aliran positif yang menekankan pada kodifikasi dan membebaskan diri dari anasir sosiologis, politik ekonomi bahkan etika dan moral menjadikan sebagai bidang yang terisoler dari interaksinya dengan masyarakat. Jika sudah melahirkan undang-undang yang telah ditentukan maka sudah bekerja dengan baik. Akan tetapi manakala persoalan-persoalan yang berada di luar mempengaruhi proses bekerjanya , positivisme menganggap hal itu bukan garapan lagi.
Disinilah sebenarnya letak kelemahan analytical jurisprudence bahwa suatu sistem tidak
mungkin untuk sepenuhnya bersifat tertutup. Sistem yang tertutup sama
sekali akan menyulitkan dan menghalang-halangi penyesuaian
kaidah-kaidah terhadap perubahan yang terjadi dalam
masyarakat, perubahan-perubahan itu menyebabkan timbulnya
kebutuhan-kebutuhan baru. Lagi pula suatu sistem tidak akan bertahan hidup lama jika tidak mendapat dukungan sosial yang luas. Dengan demikian sistem haruslah bersifat terbuka, karena sistem tidak
dapat dilepaskan dari sistem sosial lainnya. Sistem sosial yang terbuka
dalam masyarakat memberikan tempat bagi tumbuh dan berkembangnya yang hidup dalam masyarakat seperti adat-istiadat (yang bersifat fleksibel dan dinamis). Memisahkan dengan moral seperti rasa keadilan yang dianut positivisme tidak dapat dianut lagi oleh karena rasa keadilan tersebut merupakan cerminan jiwa kehidupan masyarakat dan aspek penegakan yang termuat dalam kodifikasi tidak akan berarti tanpa adanya dukungan moralitas.
Menyadari positif hidup dalam masyarakat maka secara langsung atau tidak langsung kehidupan positif yang otonom tersebut mengalami “kontaminasi” dengan bidang-bidang lain di luar . Suasana akan menjadi lain manakala cara-cara mengkaji dan menerapkan dihadapkan pada suatu kondisi perubahan dan perkembangan masyarakat, misalnya terjadi penyimpangan-penyimpangan positif dalam masyarakat seperti dikenal dengan istilah patologi . Disinilah positif tidak mampu menjawabnya. Is law dead ? Situasi krisis semacam ini mengakibatkan timbulnya beragam pertanyaan tentang interaksi positif dengan masyarakat. Posisi dalam kondisi ini dapat kita analogikan dengan Lonjakan Paradigmatik a la Khun (Paradigm1 - Normal Science – Anomalies - Crisis - Revolution - Paradigm 2). Revolusi yang diperlukan adalah kebutuhan akan paradigma baru dalam
mengkaji interaksi dalam masyarakat yang pada akhirnya bermuara pada dilakukannya kontemplasi berteorisasi yang baru. Teorisasi yang baru berupaya untuk memenuhi persyaratan ilmu pengetahuan modern: description,explanation, revealing and prediction. Maka timbul pertanyaan sederhana : Apakah positivisme telah memenuhi syarat ini?
Dengan demikian perkembangan pemikiran paradigma baru untuk melakukan kontemplasi atas interaksi dalam
masyarakat diawali manakala hal-hal yang selama ini dianggap sebagai
hal-hal yang memang sudah seharusnya demikian, benar dan nyata
(menghadapi threats to the taken for granted world) yang menjadi pegangan mengalami krisis maka mulailah orang melakukan renungan sosiologis. Renungan sosiologis inilah sebagai titik tolak “lonjakan paradigmatik” untuk membuat social theory of law.
Renungan sosiologis tersebut berupaya untuk melihat segala permasalahan
yang begitu kompleks manakala melihat jaringan-jaringan yang
mempengaruhi bekerjanya seperti yang disebut oleh Robert B.Seidmann sebagai “Field” of social forces. Jika kita memonitor dengan
menggunakan “mikroskop” maka akan terhenti pada saat peraturan selesai
dibuat. Tetapi apabila permasalahan efektifitas pengaturan dan peraturan
dipertanyakan maka banyak aspek yang perlu dijelaskan dalam hal
ini(hal-hal yang berada di luar “mikroskop”). Memotret realitas sosial
di mana bekerja di luar “mikroskop” adalah dipahami secara
fungsional dan dilihat senantiasa berada dalam kaitan interdependen
dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat. seperti : bidang sosial, politik ekonomi, antropologi, psikologi, etika, moral dan sebagainya.
Suasana perubahan dalam
masyarakat dengan sekalian problemanya tersebut membutuhkan suatu
disiplin ilmu yang berangkat dari metode observasi terhadap kenyataan.
Dengan observasi yang jujur kita akan mampu mencatat sekalian hal yang
terjadi, termasuk observasi kita mengenai bagaimana bekerja menghadapi perubahan-perubahan tersebut : bagaimana
ia “dijalankan”, “dibelokkan”, “didiamkan”, “dirubah diam-diam” dan
sebagainya. Hanya observasi yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa
mampu membuat deskripsi yang jujur.
Bekerjanya dalam masyarakat merupakan bentuk realitas sosial yang menjelaskan bagaimana sebenarnya diperlakukan oleh manusia dalam masyarakat, dan potret ini secara the full social reality of law,
akan dapat ditangkap secara utuh dengan “optik sosiologis”. Potret
sosial tersebut dicoba untuk dijelaskan bukan untuk menyetujuinya atau
memihaknya. Dengan demikian orang melihat hukum tergantung di posisi
mana orang tersebut berada. Contoh untuk hal ini adalah
turunnya Pak Harto secara konstitusional dengan dua sudut pandang :
positivistis dan sosiologis ( analisis pula dari normative Kraft des Faktischen dari Jellinek).
Kebenaran
akan fakta yang kita dapatkan dalam realitas sosial pada akhirnya akan
mampu mengahantarkan pola pikiran kita memahami segala permasalahan
yang dihadapi oleh hokum dalam masyarakat, sehingga dilakukanlah
pendekatan yang komprehensif dalam mengakaji hokum seperti dikatakan
oleh Arthur T.Vanderbilt
:……”vast and complex” as modern law has become, it can only stay “vital
in content, efficient in opration and accurate in aim” by borrowing
truths from the political, social and economic sciences,” and “from
philosophy”.
Kaum
sosiolog selama ini lazim mengemukakan pendapatnya bahwa “ itu sudah
cacat sejak dilahirkan”. Dengan ucapan tersebut yang dimaksud adalah
undang-undang merupakan endapan dari perjuangan sosial, politik dan
ekonomi, sehingga besar kemungkinannya untuk bersifat berat sebelah
(bias). Pendapat ini dapat diterima sebagai kritik terhadap positivisme . itu sudah cacat sejak dilahirkan menunjuk pada positif (kodifikasi ). Kritik terhadap kodifikasi ini telah banyak dilakukan seperti F.von Savigny (1778-1861) dari madzhab historis bahwa kodifikasi selalu membawa serta efek yang negatif, yakni perkembangan . Sejarah berjalan terus, tetapi telah ditetapkan, maka kodifikasi adalah menghentikan sejarah pada suatu saat tertentu. Von Savigny mengharapkan terlebih dahulu perkembangan perlu dipelajari secara ilmiah dan historis, sebelum dikodifikasikan.
Belajar dari hal ini maka kita menyadari sepenuhnya “betapa tidak sempurnanya buatan manusia”. Sejak orang membuat bukan berarti sejak saat itu dengan mudah merubah masyarakat atau selesailah pengaturan persoalan selesai dengan yang dibuat akan tetapi sejak saat itu pula persoalan baru timbul. Hal ini berarti disatu sisi manusia membuat peraturan
tetapi disisi lain ia tidak mampu untuk menguasai segala hal yang
diaturnya. Timbullah kesenjangan dari apa-apa yang tertulis dalam
peraturan dengan apa-apa yang terjadi dalam masyarakat sebagai
penerapan peraturan, seperti yang dikenal dengan penyakit (patologi
) seperti : “mafia peradilan”, pungli, komersialisasi , persekongkolan
dan sebagainya. Penyakit ini terkadang lebih diperparah lagi oleh
mereka yang mengetahui (seperti aparat penegak ) yaitu kemampuan membaca kelemahan dengan mencari celah-celah agar terbebas dari jeratan . Hal ini menunjukkan bahwa penegakan bukanlah
sesuatu yang mudah dan jelas seperti keinginan bunyi pasal dalam
peraturan tetapi sarat dengan intervensi metayuridis. Patologi inilah yang tidak diperhatikan secara mendalam oleh Positivisme , padahal tidak dapat dipungkiri bahwa sangat terkait dengan proses-proses kemasyarakatan (kebutuhan untuk membicarakan dalam konteks yang luas). Dengan tidak mampunya positivisme menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan dalam
masyarakat maka timbullah aliran-aliran yang mengadakan pemberontakan
terhadap formalisme atau revolusi menentang formalisme seperti :
madzhab historis, sosiologi , neokantianisme, neohegelianisme, neomarxisme, neopositivisme, realisme Amerika dan Skandinavia.
Telaah tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
jika dikaji dengan kaca mata positivis-analitis adalah sebuah system
yang konsisten, dan sangat logis peraturannya. Secara formal prosedural
setiap proses interaksi manusia dan atau birokrasinya terpaku pada
peraturan yang berlaku. Sebagai sebuah bangunan yang otonom, SPP kita
terima dan patuhi sebagai sebuah pranata yang syah secara hukum. Tujuan
SPP yang dirumuskan dalam ketentuan abstrak dan bersifat umum seperti
menemukan kebenaran material atau menegakkan keadilan, sedangkan
prosedur untuk mencapai tujuan tersebut diikat oleh ketentuan yang
normatif. Otonomi yang dimiliki SPP telah menjadikan hukum
terkotak-kotak dan terpisah dari segala hal yang berbau nonyuridis.
Oleh
karena proses bekerjanya hokum dalam SPP pada kenyataannya sangat
terkait dengan kekuatan-kekuatan, proses-proses serta faktor-faktor
yang berada di luarnya, sehingga pada akhirnya disadari bahwa otonomi
hukum yang dimiliki SPP telah dirangkul oleh kekuatan yang lebih besar
yaitu proses sosial. Dengan demikian SPP bukanlah lembaga yang tertutup
dan hanya dimiliki dan dipahami oleh kaum yuris semata, tetapi juga
milik semua orang yang berinteraksi dengannya. Sehingga dapatlah
dipahami bahwa lembaga-lembaga yang bernaung dibawah SPP tidak banyak
berbeda dengan lembaga sosial lainnya. Hal ini terbukti dengan
pengujian akan efektivitas SPP bukan sebagai satu-satunya instrument
kontrol sosial yang digunakan oleh masyarakat seperti contoh kasus
perbandingan antara Sindrom Kitty Genovese dengan Sindrom Arakan Bugil dengan pendekatan sosiologis yang dideskripsikan oleh Satjipto Rahardjo.
Dalam kajian politik kriminal dikenal akan adanya upaya penanggulangan terhadap beberapa masalah dan kondisi sosial yang
merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan dengan
pendekatan secara komprehensif integral. Pendekatan ini merupakan hasil
dari ancangan antardisiplin dengan analsis dari “optic sosiologis”,
sehingga politik kriminal penanggulangan kejahatan tidak saja dengan
jalur “penal” (SPP) tetapi juga jalur “nonpenal” dengan kajian kritis
bidang-bidang yang berkaitan seperti: religius, antropologi, sosiologi,
psikologi, nilai-nilai pandangan hidup masyarakat, politik (kebijakan
publik), ekonomi, biologi (pertanian) dan sebagainya. Pemanfaatan
pengetahuan “ekstra yuridis” tersebut mengakibatkan terjadinya
pergeseran paradigma fungsi hukum pidana dari penekanan pada “subjective guilt” ke arah “social utility”.
Kajian dengan “optik sosiologis” ini pada akhirnya mampu memberikan penjelasan secara utuh terhadap permasalahan yang terjadi dan sangat berguna bagi penyempurnaan dikemudian
hari. Selain hal tersebut “optik sosiologis” berupaya untuk membuka
pola penglihatan dan pemahaman ke arah ancangan dan analisis lebih
beragam terhadap serta berusaha untuk mendekati kebenaran sehingga mendorong orang untuk mencari cara-cara baru dalam pemahaman hukum.
Merenungi
segala pengalaman, pengamatan dan analisis kritis terhadap fakta
empirik tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat sehari-hari merupakan
pengkajian secara mendalam dan menumbuhkembangkan intensitas kesadaran
yang semakin meninggi dengan upaya yang terproses secara evolusi maupun
revolusi untuk memperluas wawasan pada perspektif baru sehingga
menghasilkan the full social reality of law. Munculnya
perspektif ini setidak-tidaknya akan mengguncang pemikiran kita yang
selama ini terpaku pada pendekatan positivis analitis untuk memahami
makna dan kenyataan bahwa hukum adalah manusia sendiri yang membuat dan
memperilakukannya. Maka dapatlah dipahami secara bijaksana bahwa
terdapat kelemahan-kelemahan yang secara inherent pada buatan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar